Minggu, 27 April 2014

MEMAHAMI REPRESENTASI KEKUASAAN DALAM TINDAK TUTUR WACANA KELAS


REPRESENTASI KEKUASAAN
DALAM TINDAK TUTUR PADA WACANA KELAS

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Wacana
yang dibina oleh  Noor Cahaya, M.Pd.


Oleh: 
Kelompok 7
Abdi Maulana                          NIM    A1B111205
Abdullah                                 NIM     A1B111220
Desmanian Alvina                   NIM     A1B111016
Febrianti Ramadhani               NIM    A1B111001
Haifa Hardianti                       NIM    A1B111028
Noorhayati                              NIM    A1B111003



PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Thompson dalam Jumadi (2010: 1) menyatakan “bahasa bukan sekedar alat komunikasi atau pengetahuan, tetapi juga sebagai alat kekuasaan”. Hal ini didasari oleh kenyataaan bahwa dalam proses komunikasi, seseorang berusaha untuk tidak hanya dipahami, tetapi juga dipercayai, dipatuhi, dihormati, dan dibedakan. Dalam realisasinya fungsi bahasa sebagai alat kekuasaan terjadi dalam proses komunikasi verbal, baik yang bersifat transaksional maupun interaksional. Dalam kajian wacana kenyataan itu mendapat pembenaran. Fairclough dalam Jumadi (2010: 2) misalnya, menyatakan bahwa kekuasaan dapat terjadi dalam hubungan kelas sosial, hubungan antarkelompok etnis, hubungan pria dan wanita, hubungan antara orang tua dan anak. Sebagai salah satu institusi sosial, pendidikan persekolahan pun merupakan domain yang tidak terlepas dari proses penggunaan kekuasaan. Penggunaan kekuasaan dalam domain ini dipengaruhi oleh karakteristik wacana kelas. Fairlough dalam Jumadi (2010: 2) menyatakan bahwa sekolah mempunyai tatanan sosial dan tatanan wacana yang melibatkan struktur ruang sosial tersendiri.
Pada bahasan ini diuraikan kajian tentang Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur dalam Wacana Kelas. Sesuai dengan fokus kajian ini, uraian representasi kekuasaan berikut ini dilihat dari tiga jens tindak tutur, yakni tindak tutur direktif, asertif, dan ekspresif. Jika ditinjau dari jenis tindak direktif yang digunakan, kekuasaan dalam wacana kelas tampak direpresentasikan dalam berbagai jenis tindak direktif. Masing-masing jenis tindak direktif itu mempunyai kadar restriksi yang dapat mengarah kepada terbentuknya kekuasaan yang bersifat dominative atau kekuasaan humanis. Selanjutnya adalah tindak asertif, tindak asertif cukup potensial dalam merepresetasikanb kekuasaan, baik kekuasaan guru maupun kekuasaan siswa. Gejala ini terkait dengan karakteristik wacana kelas sebagai domain pendidikan dan pembelajaran. Sama halnya dengan tindak asertif, tindak ekspresif juga merepresentasikan kekuasaan guru maupun guru. Tindak ekspresif dibagi menjadi dua yaitu tindak mengungkapkan rasa senang dan tidak senang.




B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah yang ditemukan sebagai berikut.
a.       Bagaimana  bentuk representasi kekuasaan tindak direktif?
b.      Bagaimana  bentuk representasi kekuasaan tindak asertif?
c.       Bagaimana  bentuk representasi kekuasaan tindak ekspresif?

C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan, tujuan dari makalah ini adalah,
a.    Menjelaskan bentuk representasi kekuasaan tindak direktif.
b.    Menjelaskan bentuk representasi kekuasaan tindak asertif.
c.    Menjelaskan bentuk representasi kekuasaan tindak ekspresif.



REPRESENTASI KEKUASAAN
DALAM TINDAK TUTUR PADA WACANA KELAS

A.      Representasi Kekuasaan dalam Tindak Direktif
Tindak direktif amat potensial merepresentasikan kekuasaan. Daya ilokusi tindak tutur ini menghendaki agar T melakukan sesuatu dengan maksud tuturan P. Pada realisasinya, penggunaan tindak tutur ini merepresentasikan kekuasaan pemakainya. Dari hasil kajian ini terungkap bahwa penggunaan tindak direktif dalam wacana kelas merepresentasikan kekuasaan guru dan kekuasaan siswa. Tindak direktif mempunyai wujud heterogen. Heterogenitasnya menyangkut jenis direktif yang digunakan dan sifat kekuasaan yang direpresentasikan.

1.    Representasi Kekuasaan dalam Perintah
Sebagai salah satu jenis direktif, perintah (requirement) mempunyai karakteristik tertentu. Back dan Harnish (1979: 47)  menyebutkan karakteristik perintah sebagai berikut. Di dalam menuturkan suatu tuturan tertentu. P memerintah T untuk melakukan sesuatu jika P mengekspresikan: a) keyakinan bahwa tuturannya, di dalam otoritasnya terhadap T, merupakan alasan yang cukup bagi T untuk melakukan sesuatu; dan b) maksud T melakukan sesuatu karena tuturan P.
Tingkat keeksplisitan perintah ditandai oleh hubungan langsung antara ilokusi perintah itu dengan struktur sintaktisnya. Ditinjau dari perspektif etnografi komunikasi, karakteristik tersebut membawa implikasi tertentu terhadap pemakaian perintah dalam wacana kelas. Dari hasil kajian ini terungkap bahwa tidak semua peserta tutur dalam wacana kelas mempunyai legitimasi yang sama untuk menggunakan perintah. Perbedaan status dan peran institusional antara guru dan siswa memberikan batasan-batasan tertentu terhadap isi tuturann, cara bertutur, termasuk di dalam penggunaan perintah.
Dalam proses pembelajaran penggunaan perintah mempunyai restriksi tertentu, yang kadarnya terkait dengan karakteristik struktur dan unsur-unsur pembangun perintah itu. Para peserta tutur dalam wacana kelas menggunakan perintah langsung dan tidak langsung. Daya ilokusi perintah langsung lebih eksplisit dibanding dengan perintah  tidak langsung sehingga penggunaan perintah langsung cenderung mempunyai resktriksi lebih tinggi daripada perintah tak langsung. Kutipan berikut ini merupakan contoh penggunaan perintah dalam konteks pemberian pengarahan pada pertemuan awal semester.
(1) G: Anda harus dapat mengikuti pelajaran dengan baik! (1) kalau terlambat, ada prosedur yang harus Anda lakukan. (2) jangan sampai melakukan keonaran. (3) kalau berkelahi, siapa yang menghamtam dulu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. (4) Yang lain, kalau ada yang sakit harus izin. (5) Nah , itu usahakan ada surat keterangan. (7) […] Kalau pelajaran yang ditinggalkan lebih dari satu pelajaran, semua guru harus dimintai izin. (8)
S: (siswa mendengarkan penjelasan guru dan tanpa ada yang berani usul)
(konteks: dituturkan ketika guru memberi penghargaan pada pertemuan awal semester)
Kutipan (1) berisi sejumlah perintah langsung yang digunakan oleh guru untuk memberikan pengarahan pada semester. Namun, penyampaian pengarahan itu cenderung bersifat dominatif. Sifat dominatif pengarahan itu ditunjukkan oleh kadar restriksi perintah yang digunakan dan strategi penyampaian pengarahan itu. Sifat dominatif pengarahan itu ditunjukkan oleh strategi penyampaian yang cenderung instruktif, tidak dialogis. Jika dikaitkan dengan pendapat Fairclough (1998: 39), dalam konteks seperti itu, siswa menjadi subjek sosial yang bersifat pasif dan terkondisikan. Mereka dipaksa beroperasi dalam posisi-posisi subjek dalam konteks wacana.
Pemilihan perintah langsung tersebut tiidak terlepas dari tujuan tutur yang hendak dicapai guru dari pengarahan itu. Guru berpendapat bahwa dalam memberikan pengarahan, terutama pengarahan terkait subtansi yang dianggap urgen, penggunaan perintah langsung dianggap lebih efektif.  Dalam konteks tertentu, terutama ketika memberikan pengarahan tentang hal-hal yang kurang urgen, guru bisa menggunakan perintah tak langsung. Penggunaan perintah langsung mempunyai kadar restriksi lebih tinggi daripada perintah tak langsung.  
Ketika bertutur dengan guru, siswa menggunakan tuturan off record, dengan tidak menyatakan secara langsung bahwa dirinya memerintah guru. Selain terkait dengan langsung tidaknya perintah, kadar reestriksi kekuasaan juga terkait dengan penggunaan modalitas dalam tuturan yang membangun suatu perintah. Modalitas bekerja dengan wewenang atau kekuasaan para peserta tutur. Ada dua dimensi modalitas, yang realisasinya bergantung kepada arah otoritas tersebut ditujukan. Yang pertama, jika merupakan otoritas P terhadap T, otoritas yang dimaksud tergolong modalitas relasional. Penggunaan modalitas relasional atau deontik dalam suatu perintah merepresentasikan kekuasaan absah. Untuk memperjelas uraian ini, kutipan yang berikut ini layak diperhatikan.
(2) G: […] jadi, satuan yang terkecil yang  mana ? (1)
S: (siswa kelihatan takut menjawab sehingga suaranya tidak jelas)
G: salah tidak apa-apa, tidak didenda kok. (2) jawaban tidak harus betul dulu. (3) coba belajar mengemukakan pendapat1 (4) ya siapa?
(konteks: dituturkan ketika guru memerintahkan menjawab soal dalam LKS)
Terungkap penggunaan sejumlah perintah. Guru menggunakan perintah dengan kadar restriksi rendah sehingga kekuasaan yang direpresentasikan pun lebih humanis. Di samping karena bentuk perintah tak langsung, rendahnya kadar restriksi tersebut disebabkan pula oleh penggunaan modalitas yang cenderung mengurangi kadar restriksi.
Selain penggunaan modalitas, pemilihan jenis diatesis mempengaruhi kadar restriksi perintah dan sifat kekuasaan yang direpresentasikan. Dilihat dari diatesisnya, tindak perintah yang terungkap dalam wacana kelas dapat dipilah menjadi dua, yakni perintah yang berdiatesis aktif dan perintah berdiatesis pasif.
(3) G: ya, sekarang serikan dulu soal itu, kemudian diparalelkan (1) betul itu soal nomor a (2) Nah, baik kamu kerjakan yang a dulu didepan, langsung ya! (3) yang lain siap-siap menjawab b! (4) semua harus mencoba soal itu, tidak ada yang terkecuali. (5) setiap anak harus mengerjakan yang b karena begitu saya tunjuk tiba-tiba, kalian harus siap! (6)
S: (salah satu siswa yang telah ditunjuk mengerjakan soal a ke papan tulis, sedangkan yang lain mengerjakan soal b)
(konteks: dituturkan guru ketika memerintahkan siswa mengerjakan soal di dalam LKS)
Ketika berdiatesis aktif, perintah (1) s.d (6) itu mempunyai kadar restriksi tinggi, tetapi begitu berubah menjadi perintaah berdiatesis pasif, perintah itu mempunyai kadar restriksi yang rendah.  Tujuan tutur merupakan faktor utama yang ikut menentukan pemilihan jenis diathesis tersebut. Ada dua tujuan tutur yang menjadi pertimbangan guru dalam memilih diathesis suatu perintah, yakni untuk memfokuskan unsur pelaku perintah dan menghindarkam ancaman muka. Penggunaan perintah aktif itu mempunyai kadar restriksi lebih tinggi daripada perintah berdiatesis pasif sehingga bentuk perintah tersebut cenderung merepresentasikan kekuasaan dominatif.
Selain dipengaruhi oleh jenis diathesis, representasi kekuasaan dalam suatu perintah juga dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan (term of addres) dalam perintah itu. Brown dan Gilman, menyatakan bahwa kata sapaan terkait dengan kekuasaan dan solidaritas. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa penggunaan sapaan tertentu berdampak kepada kadar restriksi perintah dan sifat kekuasaan yang direpresentasikan. Dari hasil kajian ini terungkap tiga kemungkinan bentuk sapaan yang dapat berpengaruh terhadap kadar restriksi perintah da sifat kekuasaan yang direpresentasikan. Ketiga jenis sapaan itu adalah (a) kata sapaan orang pertama tunggal, saya, aku, (b) kata sapaan orang pertama jamak, kamu (semua/sekalian), kalian (semua), kau, Anda, dan nama. Perhatikan kutipan berikut:
(4) G: Nah, sekarang macam-macam jaringan yang ada di dalam organ, kamu pelajari (1) Silahkan berdiskusi, tetapi sebangku dulu! (2) Untuk pertemuan yang akan datang, saya harap kalian sudah membentuk sepuluh kelompok (3) kalau saya inginkan, kalian harus sudah siap. (4)
S: (siswa melakukan perintah guru)
(konteks: dituturkan ketika para guru memerintahkan siswa berdiskusi)

2.    Representasi Kekuasaan dalam Permintaan
Bila dibandingkan dengan perintah, permintaan mempunyai kadar restriksi lebih rendah sehingga kekuasaan yang direpresentasikan pun cenderung lebih humanis. Dalam proses pembelajaran, jika konteks nya memungkinkan, guru atau siswa mempunyai legitimasi yang sama untuk menggunakan permintaan. Permintaan juga masih memiliki kadar restriksi yang heterogen. Heterogenitasnya terkait dengan sejumlah faktor sebagaimana ditunjukkan dalam perintah, misalnya langsung tidaknya permintaan, jenis diathesis yang digunakan, modalitas yang dipilih, kata sapaan yang digunakan, dan panjang tuturan yang membangun permintaan. Terkait dengan penggunaan kedua jenis permintaan ini, Fairclought (1998-55) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara permintaan dan kekuasaan ketika hak untuk meminta seseorang melakukan sesuatu karena ada kekuasaan yang dimiliki. Bentuk permintaan langsung menunjukkan hubungan kekuasaan secara eksplisit, sedangkan yang berbentuk  yang tak langsung bersifat lebih implisit. Bagi guru, faktor utama yang dijadikan pertimbangan adalah tujuan tutur. Ketika bermaksud memberikan restriksi agar siswa melakukan sesuatu/tidak melakukan sesuatu. Bagi siswa, selain faktor tujuan tutur, faktor T juga menjadi pertimbangan di dalam menggunakan kedua bentuk permintaan tersebut. Ketika bertutur dengan guru, mereka merasa lebih  santun menggunakan permintaan tak langsung. Kalau terpaksa menggunakan permintaan langsung, biasanya mereka berusaha menurunkan kadar restriksinya dengan menggunakan modalitas tertentu atau menggunakan permintaan dengan tuturan yang lebih panjang.
(5) G: Kamu lihat LKS tentang system organ halaman 9! (1) coba berikan contoh satu macam organ dan berikan gambaran bagaimana organ itu disebut sebagai organ (2) Tolong tas diletakkan! (3) … Contohnya apa? (4)
S: usus halus. (5)
G: usus halus itu fungsinya apa? (6) Silahkan, jekaskan fungsinya!
(Konteks: dituturkan ketika guru meminta siswa mengerjakan soal dalam LKS)
Dari tuturan (2), (3), dan (6) yang masing-masing menggunakan modalitas coba, tolong, dan silahkan.  Penggunaan ketiga modalitas adverbial tersebut tampaknya dapat menurunkan kadar restriksi kekuasaan yang direpresentasikan. Ketiga permintaan tersebut merepresentasikan kekuasaan absah guru. Kekuasaan yang direpresentasikan dari permintaan itu sangat humanis. Penggunaan modalitas tolong dalam permintaan. Penggunaan modalitas ini terkait dengan upaya guru di dalam membangun kesetaraan dalam proses pembelajaran. Paparan di atas menunjukkan bahwa penggunaan modalitas terkait dengan sifat kekuasaan yang direpresentasikan. Permintaan saat guru menghimbau suatu perilaku umum yang perlu ditunjukkan siswa di dalam kelas ketiga guru itu mengajar. Sebagai sebuah himbauan, daya restriksinya terasa lebih rendah sehingga ketiga permintaan itu cenderung merepresentasikan kekuasaan absah yang tidak dominatif.
Di samping faktor modalitas, kadar restriksi permintaan juga terkait dengan panjang tuturan yang membangun permintaan itu. Permintaan guru dalam kutipan berikut ini menunjukkan gejala tersebut.
(6) G: Baik, ini ada salah seorang akan mengerjakan, yang lainnya tolong menyimak dengan baik supaya bisa mengerti. (1) kalau kurang mengerti nanti ditanyakan. (2) namumu siapa?
S: Ogsi. (4)
G: ya, tolong perhatikan ya! Ini temanmu mengerjakan , yang lain memperhatikan dengan baik supaya mengerti. (6)
(Konteks: dituturkan ketika guru dan siswa membahas soal dalam buku paket)
Dalam kutipan (6) tersebut tampak bahwa guru memanfaatkan panjang tuturan untuk mengurangi kadar restriksi permintaan yang dibuat. Guru tidak menggunakan paksaan agar siswa memperhatikan temannya yang sedang mengerjakan, tetapi dengan penyadaran apa manfaat memperhatikan itu. Permintaan itu dipersepsi siswa merepresentasikan kekuasaan lebih humanis. Cara demikian banyak digunakan guru dalam wacana kelas.

3.    Representasi Kekuasaan dalam Larangan  
Pada  dasarnya direktif dengan bentuk larangan (prohibitive) juga berisi perintah, tetapi perintah negatif, yakni agar T tidak melakukan sesuatu. Dalam menyatakan tuturan tertentu, P melarang T untuk melakukan sesuatu apabila P mengekspresikan: (a) keyakinan bahwa tuturannya, dalam hubungannya dengan otoritas atasnya T, menunjukkan alasan yang memadai bagi T untuk tidak melakukan sesuatu, dan (b) maksud bahwa karena tuturan P itu, T tidak melakukan sesuatu.
Larangan cenderung mempunyai kadar restriksi tinggi sehingga kekuasaan yang direpresentasikan cenderung bersifat dominatif. Tingginya kadar restriksi itu berimplikasi kepada siapa yang mempunyai legitimasi melarang itu dilakukan. Penggunaan larangan itu bisa terjadi di dalam proses pemberian pengarahan atau dalam proses pembelajaran.
(7) G: saya harapkan tata tertib dipatuhi. (1) jangan sampai piket dimonopoli satu orang setiap tugas itu tiba gilirannya. (2) Yang sudah menghapus jam pertama lalu dilanjtkan oleh yan lain pada jam berikutnya. (3) jangan sampai disuruh menghapus oleh Bapak/Ibu guru tanpa kamu mempunyai inisiatif sendiri(4)
S: (Siswa memperhatikan secara tekun)
(Konteks: dituturkan oleh guru ketika memberikan pengarahan pada pertemuan awal semester)
Dalam kegiatan  (7) di atas tampak bahwa tuturan (1) dan (3) tergolong direktif dengan bentuk larangan langsung dengan modalitas jangan. Larangan tersebut cenderung merepresentasikan kekuasaan dominatif. Dalam proses pembelajaran, misalnya, pencegahan dan pelurusan perilaku menyimpang. Representasi kekuasaan yang dihasilkan mungkin bersifat humanis. Tingginya kadar restriksi kekuasaan itu akan semakin menunjukkan sikap memaksa. Ketika memberikan larangan yang berkadar restriksi tinggi, di samping menggunakan modalitas jangan, guru juga sering memanfaatkan modalitas lain, seperti dilarang, tidak boleh dan tidak diperkenankan.
Dari hasil kajian ini terungkap bahwa untuk mengurangi daya resktriksi kekuasaan larangan, guru menggunakan bentuk-bentuk larangan berikut, yakni (a) menggunakan larangan tak langsung dengan struktur deklaratif, interogatif, isyarat, dan sindiran; dan (b) menggunakan modalitas tertentu yang bisa mengurangi kadar restriksi.
(8)   G: Ada pertanyaan, kalau tidak ada saya lanjutkan ke peluang (1)
S: (Siswa tampak agak ramai karena ada yang masih membicarakan materi yang baru diterangkan guru)
G: Set…, sudah atau masih ngomong aja dulu ? (2) Saya tunggu ngomongnya sampai selesai dulu. (3)
S: (Diam seketika)
G: Karena tidak ada yang bertanya, maka saya lanjutkan ke peluang (4)
(Konteks: dituturkan ketika guru selesai menjelaskan butir soal dan akan melanjutkan membahas materi berikutnya)
Ketidaklangsungan struktur larangan tersebut menurunkan kadar restriksi yang ditimbulkan sehingga cenderung merepresentasikan kekuasaan yang lebih humanis. Larangan (2) berstruktur interogatif, sedangkan larangan (3) berstruktur isyarat kuat, yang keduanya sama-sama mempunyai kadar rektriksi lebih rendah daripada larangan langsung. Penggunaan larangan di atas cenderung merepresentasikan kekuasaan acuan atau kekuasaan perilaku. Dalam konteks tertentu, penggunaan larangan seperti itu sangat efektif. Gejala tersebut membuktikan kebenaran pendapat Froyen (1993: 57) yang menyatakan bahwa dalam wacana kelas, ada tiga kekuasaan yang menonjol, yakni kekuasaan kepakaran, kepakaran absah, dan kekuasaan acuan. Kekuasaan paksaan dan kekuasaan hadiah sebagai pendukung tiga kekuasaan utama tersebut.
Ketika bertutur dengan guru, sedapat mengkin mereka menghindari penggunaan larangan. Namun, dalam konteks tertentu, apalagi ketika bertutur dengan guru yang sudah akrab dan mengedepankan kesetaraan dalam pembelajaran, siswa bisa menyampaikan larangan kepada guru dengan menggunakan larangan tak langsung atau memanfaatkan modalitas tertentu untuk menghindarkan ancaman muka atau merusak citra diri guru.
Dapat disimpulkan: (a) penggunaan larangan dalam wacana kelas cenderung merepresentasikan kekuasaan dominatif, (b) penggunaan larangan langsung merepresentasikan kekuasaan lebih dominatif daripada larangan tak langsung, (c) Penggunaan kekuasaan dalam larangan terkait dengan upaya guru mencegah/menghentikan perilaku negatif siswa dilihat dari ukuran-ukuran pendidikan dan pengajaran.

4.    Representasi Kekuasaan dalam Persilaan
Bach dan Harnish (1979: 47) menyebutkan karakteristik bentuk persilaan sebagai berikut. Ketika menuturkan tuturan tertentu, P mempersilakan T untuk melakukan sesuatu jika P mengekspresikan (a) keyakinan bahwa tuturannya, karena otoritasnya terhadap T, membolehkan T untuk melakukan sesuatu, dan (b) maksud bahwa T yakin jika tuturan P membolehkannya melakukan sesuatu.  rendahnya restriksi persilaan ditunjukkan oleh penggunaan modalitas. Dalam bahasa Indonesia, tuturan pengungkap bentuk persilaan ini bisa menggunakan sejumlah modalitas, misalnya silakan, biarlah, diperkenankan, dipersilakan, dan dizinkan. Bentuk direktif yang merepresentasikan kekuasaan paling humanis. Dalam wacana kelas terungkap bahwa penggunaan direktif dengan bentuk persilaan merepresentasikan kekuasaan guru dan siswa. Bagi siswa, penggunaan persilaan untuk menunjukkan kesantunan agar tidak mengancam muka guru. Penggunaan direktif dengan bentuk persilaan ternyata bukan hanya digunakan oleh guru, tetapi siswa pun bisa menggunakan persilaan. Perhatikan kutipan berikut.  
(9) S1: tanya (1)
S2: Oh, iya silakan! (2)
S1: E…, begini, matahari itu kan juga sebagai bintang, misalnya ada bintang A dan bintang B. (3) Nah, bintang A ini bisa bergerak, kenapa matahari tidak bergerak? (4) jika bintang A bergerak, matahari itu juga punya potensi untuk bergerak. (5)
S3: Saya akan mencoba menjawab, ya. (6) […]
(konteks: dituturkan ketika siswa melakukan diskusi)
Dari paparan di atas tampak bahwa kadar restriksi persilaan termasuk yang paling rendah bila dibandingkan dengan bentuk direktif yang lain.

5.    Representasi Kekuasaan dalam Saran
Bach dan Harnish (1979: 48) memberikan ciri saran sebagai berikut: di dalam menuturkan suatu tuturan tertentu, P menasihati T untuk melakukan sesuatu jika P mengekspresikan: (a) keyakinan bahwa terdapat (yang cukup) alasan bagi T untuk melakukan sesuatu, dan (b) maksud bahwa T meyakinkan P sebagai (cukup) alasan baginya untuk melakukan sesuatu. Saran lebih banyak diberikan guru kepada siswa atau siswa kepada siswa yang lain. Hal ini dapat dimaklumi karena berdasarkan data yang ditemukan, saran cenderung  merepresentasikan kekuasaan absah dan kekuasaan kepakaran para peserta tutur dalam wacana kelas. Untuk memperjelas uraian ini, kutipan berikut layak diperhatikan:
(10) G: […] salah tidak masalah ini. (1) saya ingatkan sekarang, kalau maju ke depan tidak perlu takut salah. (2) salah itu tidak apa-apa di dalam belajar. (3) Tapi nanti kalau ulangan sebaiknya jangan…? (4)
S: salah (5)
G: ha, iya. Kalau ujian sebaiknya tidak salah. (6) jangan dibalik, kalau latihan takut salah, kalau ujian tidak takut salah. (7) kita nggak baik menggunakan prinsip itu. (8)
(Konteks: dituturkan ketika guru melihat siswa agak ragu-ragu untuk menjawab ke depan)
Realisasi dari saran cenderung bergantung kepada kesadaran atau kemauan siswa. Penggunaan sejumlah modalitas, seperti tidak perlu takut salah, salah tidak apa-apa, sebaiknya, dan nggak baik dapat menurunkan daya restriksi. Saran tersebut. Guru banyak menggunakan saran. Pertama, saran yang dimaksud agar siswa melakukan sesuatu yang positif. Daya ilokusi saran itu biasanya memberikan dorongan agar siswa melakukan sesuatu yang positif. Kedua, saran yang dimaksudkan agar siswa melakukan hal yang negatif.
Pada konteks itu, guru mengajak memikirkan isi saran, bukan memaksakannya. Walaupun terkesan ada perintah atau pelanggaran, saran-saran itu tetap mempunyai kadar restriksi rendah karena sifatnya tidak memaksa. Peran siswa, saran yang mereka sampaikan lebih sering diarahkan kepada siswa yang lain. Sesuai dengan sifatnya, kekuasaan dalam saran tidak berpretensi memaksa, tetapi sekedar memberikan dorongan. Oleh karena itu, penggunaan kekuasaan dalam saran terkait dengan upaya guru mendorong siswa boleh atau agar melakukan sesuatu atau mencegah siswa agar tidak melakukan sesuatu.

6.    Representasi Kekuasaan dalam Pertanyaan
Bach dan Harnish (1998: 47) menyatakan cirri pertanyaan sebagai berikut. Ketika menuturkan tuturan tertentu, P menanyai T apakah menjawab pertanyaan atau tidak jika P mengekspresikan: (a) keyakinan bahwa P menanyai T apakah menjawab atau tidak, dan (b) maksud bahwa P menyampaikan kepada T apakah menjawab pertanyaan atau tidak boleh karena keinginan P. pertanyaan ditandai oleh penggunaan kata-kata tanya tertentu, antara lain di mana, kapan, siapa, siapa (punya), yang mana, apa, bagaimana, dan mengapa.
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pertanyaan, sebagai salah satu bentuk ilokusi tak langsung, dapat mengimplikasikan perintah. Implikasi itu terkait dengan empat fungsi pertanyaan sebagaimana dikemukakan oleh Allen dan Guy (1978: 165) antara lain untuk (a) klasifikasi, (b) pengulangan, (c) verifikasi, dan (d) menggali informasi. Representasi kekuasaan dalam wacana kelas terkait dengan fungsi-fungsi itu. Untuk memperjelas uraian ini,  mari kita lihat kutipan berikut ini:
(11)   G: Coba, gaya apa yang mungkin terjadi di situ? (1)
S: Tarik-menarik dan tolak-menolak. (2)
G: Tarik-menarik dan tolak-menolak yang berkaitan dengan apa? (3)
S: Gaya gravitasi. (4)
G: gaya gravitasi, baik sekali. (5)
(Konteks: dituturkan ketika Guru menanyakan pemahaman siswa terhadap gaya gravitasi)
Kedua pertanyaan itu digunakan guru untuk klarifikasi. Kedua pertanyaan itu digunakan guru untuk menjernihkan pemahaman siswa terkait dengan jenis gaya gravitasi. Kalau diperhatikan, kinerja dari kedua pertanyaan itu memiliki kadar restriksi rendah sehingga cenderung merepresentasikan kekuasaan lebih humanis. Ada dua kemungkinan pola urutan penunjukan pelaku sebagai penjawab pertanyaan, yakni (a) pola penyebutan pertanyaan sebelumnya menunjukkan pelaku, dan (b) pola penujukan pelaku diikuti oleh penyampaian pertanyaan. Dari hasil kajian ini terungkap bahwa kekuasaan yang direpresentasikan dengan pola (a) cenderung lebih humanis daripada pola (b). Bagi siswa, pola penyebutan pertanyaan sebelum penunjukan dirinya dianggap memberikan kesempatan kepada dirinya untuk memikirkan jawaban pertanyaan itu. Pola ini dipersepsi siswa sebagai  restriksi yang dianggap cenderung merepresentasikan kekuasaan lebih dominatif.   Tujuan lain yang menyebabkan guru menggunakan pernyataan dominatif, misalnya ingin menghentikan siswa rebut, memberikan restriksi, memberikan penyadaran, atau sejenisnya. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pernyataan ya-tidak yang tergolong retoris yang digunakan untuk memberikan penekanan agar siswa tidak mengalami kesalahan cenderung mempunyai restriksi lebih tinggi daripada pertanyaan perihal.
Ditinjau dari aspek pragmatik, penggunaan pertanyaan ya-tidak cenderung memiliki maksud-maksud tertentu. P merasa bahwa dirinya berhak untuk memberikan pemahaman kepada T. itulah sebabnya, Leech (1993: 266-267) menganggap bahwa pertanyaan ya-tidak  sebagai pertanyaan bermuatan, yang mungkin bermuatan bias positif yang menghendaki jawaban ya atau pertanyaan bias negatif yang menghendaki jawaban tidak.

B.       Representasi Kekuasaan dalam Tindak Asertif
Menurut Searle (1976), tindak tutur ini memiliki fungsi untuk memberi tahu orang-orang mengenai sesuatu fungsi tersebut tentu sangat penting dalam wacana kelas karena proses transfer pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam proses pembelajaran tidak terlepas dari proses memberi tahu. Leech (1993: 327) memberi karakteristik asertif. Tindak asertif diberi formula sebagai berikut: verba asertif biasanya dipakai dalam konstruksi S Verbs (…) that X  dengan S sebagai subjek  (mengacu kepada P) dan that X mengacu pada suatu proposisi. Bach dan Harnish (1979: 42) menyatakan ciri asertif sebagai berikut. Di dalam menuturkan tertentu, P menyatakan tentang proposisi jika P mengekspresikan: (a) keyakinan tentang proposisi, dan (b) maksud bahwa T yakin tentang proposisi itu. Dari kedua pendapat itu dapat ditarik dua ciri asertif, yakni (a) tindak asertif merupakan tindak tutur yang mengungkapkan keyakinan P, dan (b) keyakinan itu diungkapkan dalam proposisi yang mempunyai kadar kebenaran tertentu.
Jika dikaitkan dengan fungsinya, tindak tutur asertif cenderung merepresentasikan kekuasaan kepakaran (expert kekuasaan). Kekuasaan kepakaran adalah kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang karena akses informasi yang dimilikinya.
1.    Representasi Kekuasaan dalam Menegaskan
Ditinjau dari perspekstip etnografi komunikasi dari Hymes (1974), penggunaan tindak menegaskan terkait dengan berbagai tujuan, misalnya untuk menghilangkan keragu-raguan, memberikan penekanan, memebrikan klarifikasi, atau yang lain.
(12) G: […] berapa iurannya? (1)
S: seribu (2)
G: Ada yang keberatan? (3) Saya kira cara itu sudah baik. (4) […]
S: Bu, keberatan. [5]
G: Ya, ada yang keberatan, satu, dua, tiga.(6)  Nah, bagaimana menanggapi kawanmu yang keberatan (7) […] kalau hanya ada beberapa orang saja yang keberatan, saya kira keputusan itu sudah baik. (8) Ok, yang keberatan berapa orang? (9)
S: Nggk jadi. (10)
G: Nggak jadi? (11) saya kira sudah bisa diambil keputusan.
(konteks: dituturkan ketika wali kelas mengecek besarnya uang iuran kelas)
Dalam kutipan (12) tersebut terdapat satu tuturan yang mengungkapkan tindak asertif dengan bentuk penegasan yakni tuturan (8). Terkait dengan tindak  menegaskan pada kutipan (12) ada dua hal yang layak dilihat, yakni linearitas proposisi yang membangun penegasan itu dan modalitas epistemik atau oleh Fairclough (1988: 126-127) disebut modalitas ekspresif yang digunakan untuk meyakinkan siswa. Ditinjau dari aspek proposisi yang digunakan, tuturan (9) dibangun dengan jenis proposisi kondisional. Jenis proposisi ini ternyata sering digunakan dalam tindak menegaskan. Kadar kebenaran dari tuturan yang dibangun dengan pola proposisi ini ditentukan oleh lineritas antara proposisi yang berfungsi sebagai anteseden dan proposisi lain yang berfungsi sebagai konsekuensi. Menyusun proposisi kalau hanya beberapa orang saja yang keberatan, sebagai proposisi anteseden, dan proposisi saya kira tidak perlu dipermasalahkan, sebagai proposisi konsekuensi. Dalam tindak menegaskan itu digunakan modalitas episdemik saya kira. Alwi (1992: 106) memasukkan modalitas tersebut ke dalam kategori keteramalan. Penggunaan modalitas itu mencerminkan sikap guru yang lebih yakin terhadap kebenaran proposisi yang dibuat daripada menggunakan modalitas seperti mungkin atau barangkali.
Di dalam wacana kelas, kekuasaan kepakaran tidak hanya dimiliki oleh guru. Siswa pun jika mereka mempunyai kepakaran (baik pengetahuan maupun keterampilan), berpotensi mempunyai kekuasaan di atas peserta tutur yang lain. Tindak menegaskan yang dilakukan siswa lebih banyak terungkap dalam proses tanya jawab atau diskusi.
(13) S1: […] Gimana, kurang jelas? (1)
S2: Orbit planet Pluto suatu saat kan memotong orbit Uranus? (2)
S1: E..., begini, ya. Anda bilang orbitnya Pluto memotong orbit Uranus. (3) itu kan sewaktu-waktu, nggak selamanya. (4) padahal, pluto itu membentuk esnya itu lama banget. (5) jadi, nggak semudah itu mencairnya menjadi gas. (6) Apa masih ada sanggahan? (7)
S2: Sudah. (8)
S1: Sudah. Terima kasih. (9)
(Konteks: dituturkan ketika siswa melakukan diskusi)
Hal-hal yang telah terurai di atas menunjukkan bahwa penggunaan tindak menegaskan dalam wacana kelas bukan hanya merepresentasikan kekuasaan guru, tetapi juga kekuasaan siswa. Oleh karena itu, kekuasaan yang direpresentasikan dalam tindak menegaskan bukan dominasi guru, bukan bersifat atas-bawah, tetapi cenderung sirkular.

2.    Representasi Kekuasaan  dalam Menunjukkan
Tindak asertif dengan bentuk menunjukkan (suggest)  banyak digunakan dalam wacana kelas. Daya ilokusi bentuk ini membuat T memahami atau mengetahui sesuatu sebagaimana ditunjukkan oleh tuturan P. tindak menunjukkan justru digunakan untuk memberitahukan tentang sesuatu. Bentuk menunjukkan juga cenderung merepresentasikan kekuasaan kepakaran.
(14) G: kalo lihat ada beberapa jaringan epitel? (1) […]Ada pipih, ada kubus, ada silindris apa? (2)
S: Transisional (3)
G: Bentul, transisional. (4) Transisi itu apa? (5) transisi itu perpindahan bentuk dikelompokkan dalam kubus kok tidak kubus. Dikelompokkan dalam silindris kok tidak silindris, gitu lho. (6) […]
(Konteks: dituturkan ketika guru menjelaskan jaringan sel)
Dalam kutipan (14) tampak bahwa guru menggunakan dua tindak asertif dengan bentuk menunjukkan, yakni (5) dan (6). Kedua tindak tutur tersebut merepresentasikan kekuasaan kepakaran guru. Namun, dalam konteks lain, penggunaan tindak tutur ini juga terkait dengan upaya perbaikan kesalahan, baik menyangkut kesalahan pengetahuan, keterampilan maupun sikap.

(15) S: Bu, itu apakah bukan rataan pertama?  (1)
G: Oh, sori, iya. (2) Ini bukan rataan kedua, tapi rataan pertama soalnya simpangan bakunya simpangan baku kedua. (3) Ini langsung substitusi. (4) Iya, jadi ini 2x1 ini berapa sekarang? (5)
(Konteks: dituturkan ketika guru menjelaskan teori peluang)
Ditinjau dari aspek formal, tuturan (3) pada kutipan (15) termasuk tuturan berstruktur interogatif. Akan tetapi, daya ilokusi itu bukan untuk bertanya, tetapi untuk menunjukkan kesalahan guru. Tuturan tersebut tergolong tindak menunjukkan secara tidak langsung. Menurut siswa, penggunaan tindak tutur itu dimaksudkan agar tidak mengancam muka guru.  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tindak menunjukkan yang digunakan dalam wacana kelas dapat merepresentasikan kekuasaan guru dan kekuasaan siswa.

3.    Representasi Kekuasaan dalam Mempertahankan
Tindak asertif dengan bentuk mempertahankan biasanya diwujudkan dalam tuturan yang berisi proposisi yang diekspresikan P untuk meyakinkan T terhadap kebenaran gagasan yang disampaikan (periksa Bach dan Harnish, 1979: 42). Oleh karena itu, dalam wacana kelas, penggunaan bentuk mempertahankan cenderung merepresentasikan kekuasaan kepakaran yang bersifat lebih dominatif.
(16) G: […] Tapi, kalau diskusi harus resmi, (1)
S: kadang-kadang dalam seminar itu bahasanya tidak baku, Bu. (2)
G: Ya, kita ini sering salah menerapkan. (3) Dalam seminar, ya harus menggunakan bahasa baku. (4)
S: Tapi biasanya kaku, Bu. (5)
G: Begini, maksud saya baku: suasananya memang teras kaku sehingga penyusunannya harus luwes. (6) Luwes, artinya tetap tidak keluar dari aturan bahasa yang ada. (7)
Dalam kutipan (16) tersebut tampak bahwa guru mempertahankan pendapatnya ketika siswa mencoba menyangkal. tindak asertif dengan bentuk mempertahankan tampak pula penggunaannya dalam kegiatan diskusi antarsiswa. Oleh karena itu, representasi kekuasaan dari tindak tutur yang dihasilkan bersumber dari kepakaran.   

4.    Representasi Kekuasaan dalam Menilai
Bach dan Harnish (1979: 43) memberikan karakteristik menilai sebagai berikut. Ketika menuturkan suatu tuturan tertentu, P menilai tentang proposisi apabila P mengekspresikan: (a) keyakinan tentang proposisi yang didasarkan pada  prosedur pencaharian kebenaran, dan (b) maksud bahwa T percaya tentang proposisi sebab P memiliki dukungan bagi proposisi itu. Tindak asertif dengan bentuk menilai juga merepresentasikan kekuasaan kepakaran. Aspek yang dinilai menyangkut pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Perhatikan kutipan berikut.
(17) G: Ya, saya cermati dulu untuk penampilan yang pertama dari Gilang. (1) Kalau dari tema kemarin kita tentukan tempat umum, sudah memilih tempat umum, yaitu Gunung Semeru. (2) Nah, ini dia sudah bisa mengambil suatu tema yang sesuai. (3) […] Pilihan kata, nah saya tanya kepada Gilang, kamu benar-benar membuat sendiri, mencari sendiri, tidak dalam koran, tidak ya? (4) […] tapi saya lihat pilihan katanya sudah bagus. (5) Sudah bagus dalam merangkai satu kata dalam satu kalimat dalam satu baitnya. (6) Kalau dikaitkan dengan judul dan temanya benar-benar sudah bagus. (7) 
(Konteks: dituturkan ketika guru dan siswa menilai pembacaan puisi yang diciptakan siswa)
Secara garis besar ada dua ukuran yang digunakan guru untuk menilai puisi siswa, yakni (a) ukuran kesesuaian dengan tugas yang diberikan, dan (b) ukuran kualitas untuk menilai kualitas diksi suatu puisi. Penggunaan modalitas epistemik sudah memiliki, sudah bagus, dan benar-benar bagus dalam berbagai tuturan ini menunjukkan bahwa guru memang menilai baik puisi yang dibuat siswa. Dalam wacana kelas, tindak asertif dengan bentuk menilai juga digunakan oleh siswa. Akan tetapi, mereka menggunakan ketika bertutur antarmereka. Penggunaan tindak menilai yang dilakukan oleh guru cenderung merepresentasikan kekuasaan humanis. Penilaian yang dilakukan guru tidak untuk mendominasi siswa, tetapi justrus untuk memberikan dorongan kepada siswa untuk berbuat yang lebih baik.

C.      Representasi Kekuasaan dalam Tindak Ekspresif
Tindak tutur ekspresif merupakan bentuk tindak tutur yang menyatakan apa yang dirasakan oleh P. dengan tindak tutur ini, P mengekpresikan keadaan-keadaaan psikologis tentang pernyataan-pernyataan rasa senang, rasa tidak senang, perasaan pedih, perasaan luka, ucapan selamat, dan ucapan belasungkawa.
1.    Representasi Kekuasaan dalam Pernyataan Rasa Senang
Ditinjau dari frekuensinya, guru merupakan peserta tutur yang lebih sering menggunakan tindak asertif. Ditinjau dari perspektif etnografi komunikasi, gejala ini terkait dengan karakteristik komponen tutur yang membangun wacana kelas, terutama kedudukan dan peran institusional para peserta tutur dan tujuan tutur yang hendak ekspresif dengan bentuk pernyataan rasa senang biasanya merupakan respon terhadap tindakan  T yang menurut ukuran pendidikan dan pengajaran bernilai positif.
(18) G: Yang sini, Putri, yang merasa perempuan angkat tangan, silahkan! (1)
S: Jaringan epitel. (2)
G: Ya, bagus, kelenjar keringat, testis, kantong empedu, uterus terbentuk atas jaringan epitel. (3) Ada pertanyaan, kalau tidak ada kita lanjut. (4) E…silahkan masih perempuan! (5) Mana silakan. (6)
S: Epitel, silinder, selapis, tunggal. (7)
G: Bagus, fungsinya karena fetrikulus infetium itu ada kelenjar pencernaan. (8) Bagus, yang lainnya. (9)
(Konteks: dituturkan ketika guru dan siswa membahas soal dalam LKS)
Rasa senang itu diwujudkan dalam tindak asertif. Dalam kutipan (18), pernyataan rasa senang dapat dilihat pada tuturan (3), (8), dan (9). Penggunaan modalitas epistemik atau ekspresif bagus dari ketiga tuturan itu menunjukkan rasa senang guru karena siswanya bisa menjawab soal dengan baik. Contoh modalitas epistemik lain adalah bagus sekali, ya pintar, OK, baik, tepat sekali, baik sekali, hebat, dan hebat sekali. 
Penggunaan tindak ekspresif dalam bentuk pernyataan rasa senang merepresentasikan kekuasaan guru dan juga kekuasaan siswa. Jenis tindak tutur ini cenderung digunakan untuk merespon sikap atau perilaku siswa yang positif dilihat dari ukuran-ukuran pendidikan dan pengajaran. Dalam realisasinya, selain mendorong siswa untuk bersikap dan berperilaku positif, penggunaan jenis tutur ini mampu memacu siswa ikut terlibat di dalam proses pembelajaran.

2.    Representasi Kekuasaan dalam Pernyataan Rasa Tidak Senang
Penggunaan tindak tutur ini karena berdasarkan persepsi P, T tidak menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang baik menurut ukuran-ukuran pendidikan dan pengajaran. Tindak tutur semacam itu cenderung merepresentasikan kekuasaan paksaan dengan kadar restriksi tinggi dan kadar dominasi beragam. Ungkapan rasa tidak senang merupakan hukuman (punishment) yang bisa menjadi reinfoser negatif.
(19) G: […] Jaringan apa?
S: Gabus.
G: Jaringan gabus, bagus. (3) Di kartu siapa yag ada jaringan gabus? (4) Yang ndak punya kartu ndak bisa ngomong. (5) kamu nggak buat, to? Untuk selanjutnya tak kurangin nilainya yang terlambat membuat. (7)
(Konteks: dituturkan ketika guru dan siswa membahas jaringan organ tubuh)
Kelalaian siswa bukan saja direspon oleh guru dengan sikap tidak suka, akan tetapi guru mengancam akan mengurangi nilai siswa. Dengan demikian, tindak (5), (6), (7) merepresentasikan kekuasaan paksaan. Kekuasaan itu  memaksa siswa untuk membawa kartu dalam pertemuan selanjutnya.  Perhatikan kutipan berikut:

(20) G: Ya, silakan! (1)
S: Jaringan otot, jaringan epitel. Jaringan …. (2)
G: Lho, volumenya kok tambah menurun? (3) menjawab kok volumenya tamabh menurun. (4)
S: Jaringan otot, jaringan epitel, jaringan ikat. (5)
G: Ya, betul. (6) […]
(Konteks: dituturkan ketika guru dan siswa melakukan tanya jawab tentang jaringan tubuh)
Dalam kutipan di atas tampak bahwa guru menggunakan tuturan  (3) dan (4) untuk menunjukkan reaksi tidak senang terhadap siswa yang menjawab dengan suara pelan. Tuturan (3) mempunyai daya resriksi tinggi. Ada sejumlah siswa yang bisa mengekspresikan ketidaksukaannya ketika bertutur dengan guru, tetapi jarang terjadi. Pada umumnya siswa cenderung menggunakan tuturan off record ketika bertutur dengan guru walaupun sebenarnya ada hal yang tidak mereka sukai. Penggunaan tindak ekspresif dengan bentuk pengekspresian rasa tidak senang bisa merepresentasikan kekuasaan guru dan bisa pula mengekspresikan kekuasaan siswa. Dalam konteks itu, kekuasaan cenderung digunakan untuk menghentikan perilaku yang kurang baik dilihat dari ukuran-ukuran pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu, kekuasaan yang merepresentasikan melalui tindak tutur yang satu ini cenderung dominatif.

 
PENUTUP
A.      Simpulan
1.    Representasi Kekuasaan dalam Tindak Direktif
a.       Representasi Kekuasaan dalam Perintah
b.      Representasi Kekuasaan dalam Permintaan
c.       Representasi Kekuasaan dalam Larangan 
d.      Representasi Kekuasaan dalam Persilaan
e.       Representasi Kekuasaan dalam Saran
f.       Representasi Kekuasaan dalam Pertanyaan
2.    Representasi Kekuasaan dalam Tindak Asertif
a.       Representasi Kekuasaan dalam Menegaskan
b.      Representasi Kekuasaan  dalam Menunjukkan
c.       Representasi Kekuasaan dalam Mempertahankan
d.      Representasi Kekuasaan dalam Menilai
3.    Representasi Kekuasaan dalam Tindak Ekspresif
a.       Representasi Kekuasaan dalam Pernyataan Rasa Senang
b.      Representasi Kekuasaan dalam Pernyataan Rasa Tidak Senang