REPRESENTASI KEKUASAAN
DALAM TINDAK TUTUR PADA WACANA KELAS
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Wacana
yang dibina
oleh Noor Cahaya, M.Pd.
Oleh:
Kelompok 7
Abdi Maulana NIM A1B111205
Abdullah NIM
A1B111220
Desmanian Alvina NIM
A1B111016
Febrianti Ramadhani NIM A1B111001
Haifa Hardianti NIM
A1B111028
Noorhayati NIM A1B111003
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Thompson dalam
Jumadi (2010: 1) menyatakan “bahasa bukan sekedar alat komunikasi atau
pengetahuan, tetapi juga sebagai alat kekuasaan”. Hal ini didasari oleh
kenyataaan bahwa dalam proses komunikasi, seseorang berusaha untuk tidak hanya
dipahami, tetapi juga dipercayai, dipatuhi, dihormati, dan dibedakan. Dalam
realisasinya fungsi bahasa sebagai alat kekuasaan terjadi dalam proses
komunikasi verbal, baik yang bersifat transaksional maupun interaksional. Dalam
kajian wacana kenyataan itu mendapat pembenaran. Fairclough dalam Jumadi (2010:
2) misalnya, menyatakan bahwa kekuasaan dapat terjadi dalam hubungan kelas
sosial, hubungan antarkelompok etnis, hubungan pria dan wanita, hubungan antara
orang tua dan anak. Sebagai salah satu institusi sosial, pendidikan
persekolahan pun merupakan domain yang tidak terlepas dari proses penggunaan
kekuasaan. Penggunaan kekuasaan dalam domain ini dipengaruhi oleh karakteristik
wacana kelas. Fairlough dalam Jumadi (2010: 2) menyatakan bahwa sekolah
mempunyai tatanan sosial dan tatanan wacana yang melibatkan struktur ruang
sosial tersendiri.
Pada bahasan ini
diuraikan kajian tentang Representasi Kekuasaan
dalam Tindak Tutur dalam Wacana Kelas. Sesuai dengan fokus kajian ini,
uraian representasi kekuasaan berikut ini dilihat dari tiga jens tindak tutur,
yakni tindak tutur direktif, asertif, dan ekspresif. Jika ditinjau dari jenis
tindak direktif yang digunakan, kekuasaan dalam wacana kelas tampak
direpresentasikan dalam berbagai jenis tindak direktif. Masing-masing jenis
tindak direktif itu mempunyai kadar restriksi yang dapat mengarah kepada
terbentuknya kekuasaan yang bersifat dominative atau kekuasaan humanis.
Selanjutnya adalah tindak asertif, tindak asertif cukup potensial dalam
merepresetasikanb kekuasaan, baik kekuasaan guru maupun kekuasaan siswa. Gejala
ini terkait dengan karakteristik wacana kelas sebagai domain pendidikan dan
pembelajaran. Sama halnya dengan tindak asertif, tindak ekspresif juga
merepresentasikan kekuasaan guru maupun guru. Tindak ekspresif dibagi menjadi
dua yaitu tindak mengungkapkan rasa senang dan tidak senang.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah yang ditemukan
sebagai berikut.
a. Bagaimana bentuk representasi kekuasaan tindak
direktif?
b. Bagaimana bentuk representasi kekuasaan tindak asertif?
c. Bagaimana bentuk representasi kekuasaan tindak
ekspresif?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah yang telah ditentukan, tujuan dari makalah ini adalah,
a. Menjelaskan
bentuk representasi kekuasaan tindak direktif.
b. Menjelaskan
bentuk representasi kekuasaan tindak asertif.
c. Menjelaskan
bentuk representasi kekuasaan tindak ekspresif.
REPRESENTASI
KEKUASAAN
DALAM
TINDAK TUTUR PADA WACANA KELAS
A.
Representasi
Kekuasaan dalam Tindak Direktif
Tindak
direktif amat potensial merepresentasikan kekuasaan. Daya ilokusi tindak tutur
ini menghendaki agar T melakukan sesuatu dengan maksud tuturan P. Pada realisasinya,
penggunaan tindak tutur ini merepresentasikan kekuasaan pemakainya. Dari hasil
kajian ini terungkap bahwa penggunaan tindak direktif dalam wacana kelas
merepresentasikan kekuasaan guru dan kekuasaan siswa. Tindak direktif mempunyai
wujud heterogen. Heterogenitasnya menyangkut jenis direktif yang digunakan dan
sifat kekuasaan yang direpresentasikan.
1.
Representasi
Kekuasaan dalam Perintah
Sebagai
salah satu jenis direktif, perintah (requirement)
mempunyai karakteristik tertentu. Back dan Harnish (1979: 47) menyebutkan karakteristik perintah sebagai
berikut. Di dalam menuturkan suatu tuturan tertentu. P memerintah T untuk
melakukan sesuatu jika P mengekspresikan: a) keyakinan bahwa tuturannya, di
dalam otoritasnya terhadap T, merupakan alasan yang cukup bagi T untuk
melakukan sesuatu; dan b) maksud T melakukan sesuatu karena tuturan P.
Tingkat
keeksplisitan perintah ditandai oleh hubungan langsung antara ilokusi perintah
itu dengan struktur sintaktisnya. Ditinjau dari perspektif etnografi
komunikasi, karakteristik tersebut membawa implikasi tertentu terhadap
pemakaian perintah dalam wacana kelas. Dari hasil kajian ini terungkap bahwa
tidak semua peserta tutur dalam wacana kelas mempunyai legitimasi yang sama
untuk menggunakan perintah. Perbedaan status dan peran institusional antara
guru dan siswa memberikan batasan-batasan tertentu terhadap isi tuturann, cara
bertutur, termasuk di dalam penggunaan perintah.
Dalam
proses pembelajaran penggunaan perintah mempunyai restriksi tertentu, yang
kadarnya terkait dengan karakteristik struktur dan unsur-unsur pembangun
perintah itu. Para peserta tutur dalam wacana kelas menggunakan perintah
langsung dan tidak langsung. Daya ilokusi perintah langsung lebih eksplisit
dibanding dengan perintah tidak langsung
sehingga penggunaan perintah langsung cenderung mempunyai resktriksi lebih
tinggi daripada perintah tak langsung. Kutipan berikut ini merupakan contoh
penggunaan perintah dalam konteks pemberian pengarahan pada pertemuan awal
semester.
(1)
G: Anda harus dapat mengikuti
pelajaran dengan baik! (1) kalau terlambat, ada prosedur yang harus Anda
lakukan. (2) jangan sampai melakukan keonaran. (3) kalau berkelahi, siapa yang
menghamtam dulu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. (4) Yang lain, kalau
ada yang sakit harus izin. (5) Nah , itu usahakan ada surat keterangan. (7) […]
Kalau pelajaran yang ditinggalkan lebih dari satu pelajaran, semua guru harus
dimintai izin. (8)
S:
(siswa mendengarkan penjelasan guru dan tanpa ada yang berani usul)
(konteks: dituturkan ketika guru memberi
penghargaan pada pertemuan awal semester)
Kutipan
(1) berisi sejumlah perintah langsung yang digunakan oleh guru untuk memberikan
pengarahan pada semester. Namun, penyampaian pengarahan itu cenderung bersifat
dominatif. Sifat dominatif pengarahan itu ditunjukkan oleh kadar restriksi
perintah yang digunakan dan strategi penyampaian pengarahan itu. Sifat
dominatif pengarahan itu ditunjukkan oleh strategi penyampaian yang cenderung
instruktif, tidak dialogis. Jika dikaitkan dengan pendapat Fairclough (1998:
39), dalam konteks seperti itu, siswa menjadi subjek sosial yang bersifat pasif
dan terkondisikan. Mereka dipaksa beroperasi dalam posisi-posisi subjek dalam
konteks wacana.
Pemilihan
perintah langsung tersebut tiidak terlepas dari tujuan tutur yang hendak
dicapai guru dari pengarahan itu. Guru berpendapat bahwa dalam memberikan
pengarahan, terutama pengarahan terkait subtansi yang dianggap urgen,
penggunaan perintah langsung dianggap lebih efektif. Dalam konteks tertentu, terutama ketika
memberikan pengarahan tentang hal-hal yang kurang urgen, guru bisa menggunakan
perintah tak langsung. Penggunaan perintah langsung mempunyai kadar restriksi
lebih tinggi daripada perintah tak langsung.
Ketika
bertutur dengan guru, siswa menggunakan tuturan off record, dengan tidak menyatakan secara langsung bahwa dirinya
memerintah guru. Selain terkait dengan langsung tidaknya perintah, kadar
reestriksi kekuasaan juga terkait dengan penggunaan modalitas dalam tuturan
yang membangun suatu perintah. Modalitas bekerja dengan wewenang atau kekuasaan
para peserta tutur. Ada dua dimensi modalitas, yang realisasinya bergantung
kepada arah otoritas tersebut ditujukan. Yang pertama, jika merupakan otoritas
P terhadap T, otoritas yang dimaksud tergolong modalitas relasional. Penggunaan
modalitas relasional atau deontik dalam suatu perintah merepresentasikan
kekuasaan absah. Untuk memperjelas uraian ini, kutipan yang berikut ini layak
diperhatikan.
(2) G: […] jadi, satuan yang terkecil
yang mana ? (1)
S:
(siswa kelihatan takut menjawab sehingga suaranya tidak jelas)
G:
salah tidak apa-apa, tidak didenda kok. (2) jawaban tidak harus betul dulu. (3)
coba belajar mengemukakan pendapat1 (4) ya siapa?
(konteks: dituturkan ketika guru memerintahkan menjawab soal dalam LKS)
Terungkap
penggunaan sejumlah perintah. Guru menggunakan perintah dengan kadar restriksi
rendah sehingga kekuasaan yang direpresentasikan pun lebih humanis. Di samping
karena bentuk perintah tak langsung, rendahnya kadar restriksi tersebut
disebabkan pula oleh penggunaan modalitas yang cenderung mengurangi kadar
restriksi.
Selain
penggunaan modalitas, pemilihan jenis diatesis mempengaruhi kadar restriksi
perintah dan sifat kekuasaan yang direpresentasikan. Dilihat dari diatesisnya,
tindak perintah yang terungkap dalam wacana kelas dapat dipilah menjadi dua,
yakni perintah yang berdiatesis aktif dan perintah berdiatesis pasif.
(3)
G: ya, sekarang serikan dulu soal
itu, kemudian diparalelkan (1) betul itu soal nomor a (2) Nah, baik kamu
kerjakan yang a dulu didepan, langsung ya! (3) yang lain siap-siap menjawab b!
(4) semua harus mencoba soal itu, tidak ada yang terkecuali. (5) setiap anak
harus mengerjakan yang b karena begitu saya tunjuk tiba-tiba, kalian harus
siap! (6)
S:
(salah satu siswa yang telah ditunjuk mengerjakan soal a ke papan tulis,
sedangkan yang lain mengerjakan soal b)
(konteks: dituturkan guru ketika memerintahkan siswa mengerjakan soal di
dalam LKS)
Ketika
berdiatesis aktif, perintah (1) s.d (6) itu mempunyai kadar restriksi tinggi,
tetapi begitu berubah menjadi perintaah berdiatesis pasif, perintah itu
mempunyai kadar restriksi yang rendah. Tujuan tutur merupakan faktor utama yang ikut
menentukan pemilihan jenis diathesis tersebut. Ada dua tujuan tutur yang
menjadi pertimbangan guru dalam memilih diathesis suatu perintah, yakni untuk
memfokuskan unsur pelaku perintah dan menghindarkam ancaman muka. Penggunaan
perintah aktif itu mempunyai kadar restriksi lebih tinggi daripada perintah
berdiatesis pasif sehingga bentuk perintah tersebut cenderung merepresentasikan
kekuasaan dominatif.
Selain
dipengaruhi oleh jenis diathesis, representasi kekuasaan dalam suatu perintah
juga dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan (term of addres) dalam perintah itu. Brown dan Gilman, menyatakan
bahwa kata sapaan terkait dengan kekuasaan dan solidaritas. Hasil kajian ini
menunjukkan bahwa penggunaan sapaan tertentu berdampak kepada kadar restriksi
perintah dan sifat kekuasaan yang direpresentasikan. Dari hasil kajian ini
terungkap tiga kemungkinan bentuk sapaan yang dapat berpengaruh terhadap kadar
restriksi perintah da sifat kekuasaan yang direpresentasikan. Ketiga jenis
sapaan itu adalah (a) kata sapaan orang pertama tunggal, saya, aku, (b) kata
sapaan orang pertama jamak, kamu (semua/sekalian), kalian (semua), kau, Anda,
dan nama. Perhatikan kutipan berikut:
(4)
G: Nah, sekarang macam-macam
jaringan yang ada di dalam organ, kamu pelajari (1) Silahkan berdiskusi, tetapi
sebangku dulu! (2) Untuk pertemuan yang akan datang, saya harap kalian sudah
membentuk sepuluh kelompok (3) kalau saya inginkan, kalian harus sudah siap.
(4)
S:
(siswa melakukan perintah guru)
(konteks: dituturkan ketika para guru memerintahkan siswa berdiskusi)
2.
Representasi
Kekuasaan dalam Permintaan
Bila
dibandingkan dengan perintah, permintaan mempunyai kadar restriksi lebih rendah
sehingga kekuasaan yang direpresentasikan pun cenderung lebih humanis. Dalam
proses pembelajaran, jika konteks nya memungkinkan, guru atau siswa mempunyai
legitimasi yang sama untuk menggunakan permintaan. Permintaan juga masih
memiliki kadar restriksi yang heterogen. Heterogenitasnya terkait dengan
sejumlah faktor sebagaimana ditunjukkan dalam perintah, misalnya langsung
tidaknya permintaan, jenis diathesis yang digunakan, modalitas yang dipilih,
kata sapaan yang digunakan, dan panjang tuturan yang membangun permintaan. Terkait
dengan penggunaan kedua jenis permintaan ini, Fairclought (1998-55) menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang erat antara permintaan dan kekuasaan ketika hak
untuk meminta seseorang melakukan sesuatu karena ada kekuasaan yang dimiliki.
Bentuk permintaan langsung menunjukkan hubungan kekuasaan secara eksplisit,
sedangkan yang berbentuk yang tak
langsung bersifat lebih implisit. Bagi guru, faktor utama yang dijadikan
pertimbangan adalah tujuan tutur. Ketika bermaksud memberikan restriksi agar
siswa melakukan sesuatu/tidak melakukan sesuatu. Bagi siswa, selain faktor
tujuan tutur, faktor T juga menjadi pertimbangan di dalam menggunakan kedua
bentuk permintaan tersebut. Ketika bertutur dengan guru, mereka merasa
lebih santun menggunakan permintaan tak
langsung. Kalau terpaksa menggunakan permintaan langsung, biasanya mereka
berusaha menurunkan kadar restriksinya dengan menggunakan modalitas tertentu
atau menggunakan permintaan dengan tuturan yang lebih panjang.
(5)
G: Kamu lihat LKS tentang system
organ halaman 9! (1) coba berikan contoh satu macam organ dan berikan gambaran
bagaimana organ itu disebut sebagai organ (2) Tolong tas diletakkan! (3) …
Contohnya apa? (4)
S:
usus halus. (5)
G:
usus halus itu fungsinya apa? (6) Silahkan, jekaskan fungsinya!
(Konteks: dituturkan ketika guru meminta siswa mengerjakan soal dalam
LKS)
Dari
tuturan (2), (3), dan (6) yang masing-masing menggunakan modalitas coba, tolong, dan silahkan. Penggunaan ketiga
modalitas adverbial tersebut tampaknya dapat menurunkan kadar restriksi
kekuasaan yang direpresentasikan. Ketiga permintaan tersebut merepresentasikan
kekuasaan absah guru. Kekuasaan yang direpresentasikan dari permintaan itu
sangat humanis. Penggunaan modalitas tolong
dalam permintaan. Penggunaan modalitas ini terkait dengan upaya guru di dalam
membangun kesetaraan dalam proses pembelajaran. Paparan di atas menunjukkan
bahwa penggunaan modalitas terkait dengan sifat kekuasaan yang
direpresentasikan. Permintaan saat guru menghimbau suatu perilaku umum yang
perlu ditunjukkan siswa di dalam kelas ketiga guru itu mengajar. Sebagai sebuah
himbauan, daya restriksinya terasa lebih rendah sehingga ketiga permintaan itu
cenderung merepresentasikan kekuasaan absah yang tidak dominatif.
Di
samping faktor modalitas, kadar restriksi permintaan juga terkait dengan
panjang tuturan yang membangun permintaan itu. Permintaan guru dalam kutipan
berikut ini menunjukkan gejala tersebut.
(6)
G: Baik, ini ada salah seorang akan
mengerjakan, yang lainnya tolong menyimak dengan baik supaya bisa mengerti. (1)
kalau kurang mengerti nanti ditanyakan. (2) namumu siapa?
S:
Ogsi. (4)
G:
ya, tolong perhatikan ya! Ini temanmu mengerjakan , yang lain memperhatikan
dengan baik supaya mengerti. (6)
(Konteks: dituturkan ketika guru dan siswa membahas soal dalam buku
paket)
Dalam
kutipan (6) tersebut tampak bahwa guru memanfaatkan panjang tuturan untuk
mengurangi kadar restriksi permintaan yang dibuat. Guru tidak menggunakan
paksaan agar siswa memperhatikan temannya yang sedang mengerjakan, tetapi
dengan penyadaran apa manfaat memperhatikan itu. Permintaan itu dipersepsi
siswa merepresentasikan kekuasaan lebih humanis. Cara demikian banyak digunakan
guru dalam wacana kelas.
3.
Representasi
Kekuasaan dalam Larangan
Pada dasarnya direktif dengan bentuk larangan (prohibitive) juga berisi perintah,
tetapi perintah negatif, yakni agar T tidak melakukan sesuatu. Dalam menyatakan
tuturan tertentu, P melarang T untuk melakukan sesuatu apabila P mengekspresikan:
(a) keyakinan bahwa tuturannya, dalam hubungannya dengan otoritas atasnya T,
menunjukkan alasan yang memadai bagi T untuk tidak melakukan sesuatu, dan (b)
maksud bahwa karena tuturan P itu, T tidak melakukan sesuatu.
Larangan
cenderung mempunyai kadar restriksi tinggi sehingga kekuasaan yang
direpresentasikan cenderung bersifat dominatif. Tingginya kadar restriksi itu
berimplikasi kepada siapa yang mempunyai legitimasi melarang itu dilakukan.
Penggunaan larangan itu bisa terjadi di dalam proses pemberian pengarahan atau
dalam proses pembelajaran.
(7)
G: saya harapkan tata tertib
dipatuhi. (1) jangan sampai piket dimonopoli satu orang setiap tugas itu tiba
gilirannya. (2) Yang sudah menghapus jam pertama lalu dilanjtkan oleh yan lain
pada jam berikutnya. (3) jangan sampai disuruh menghapus oleh Bapak/Ibu guru
tanpa kamu mempunyai inisiatif sendiri(4)
S: (Siswa
memperhatikan secara tekun)
(Konteks: dituturkan oleh guru ketika memberikan pengarahan pada
pertemuan awal semester)
Dalam
kegiatan (7) di atas tampak bahwa
tuturan (1) dan (3) tergolong direktif dengan bentuk larangan langsung dengan
modalitas jangan. Larangan tersebut
cenderung merepresentasikan kekuasaan dominatif. Dalam proses pembelajaran,
misalnya, pencegahan dan pelurusan perilaku menyimpang. Representasi kekuasaan
yang dihasilkan mungkin bersifat humanis. Tingginya kadar restriksi kekuasaan
itu akan semakin menunjukkan sikap memaksa. Ketika memberikan larangan yang
berkadar restriksi tinggi, di samping menggunakan modalitas jangan, guru juga sering memanfaatkan
modalitas lain, seperti dilarang, tidak boleh dan tidak diperkenankan.
Dari
hasil kajian ini terungkap bahwa untuk mengurangi daya resktriksi kekuasaan
larangan, guru menggunakan bentuk-bentuk larangan berikut, yakni (a)
menggunakan larangan tak langsung dengan struktur deklaratif, interogatif,
isyarat, dan sindiran; dan (b) menggunakan modalitas tertentu yang bisa
mengurangi kadar restriksi.
(8)
G:
Ada pertanyaan, kalau tidak ada saya lanjutkan ke peluang (1)
S:
(Siswa tampak agak ramai karena ada yang masih membicarakan materi yang baru
diterangkan guru)
G:
Set…, sudah atau masih ngomong aja dulu ? (2) Saya tunggu ngomongnya sampai
selesai dulu. (3)
S:
(Diam seketika)
G:
Karena tidak ada yang bertanya, maka saya lanjutkan ke peluang (4)
(Konteks: dituturkan ketika guru selesai menjelaskan butir soal dan akan
melanjutkan membahas materi berikutnya)
Ketidaklangsungan
struktur larangan tersebut menurunkan kadar restriksi yang ditimbulkan sehingga
cenderung merepresentasikan kekuasaan yang lebih humanis. Larangan (2)
berstruktur interogatif, sedangkan larangan (3) berstruktur isyarat kuat, yang
keduanya sama-sama mempunyai kadar rektriksi lebih rendah daripada larangan
langsung. Penggunaan larangan di atas cenderung merepresentasikan kekuasaan
acuan atau kekuasaan perilaku. Dalam konteks tertentu, penggunaan larangan
seperti itu sangat efektif. Gejala tersebut membuktikan kebenaran pendapat
Froyen (1993: 57) yang menyatakan bahwa dalam wacana kelas, ada tiga kekuasaan
yang menonjol, yakni kekuasaan kepakaran, kepakaran absah, dan kekuasaan acuan.
Kekuasaan paksaan dan kekuasaan hadiah sebagai pendukung tiga kekuasaan utama
tersebut.
Ketika
bertutur dengan guru, sedapat mengkin mereka menghindari penggunaan larangan.
Namun, dalam konteks tertentu, apalagi ketika bertutur dengan guru yang sudah
akrab dan mengedepankan kesetaraan dalam pembelajaran, siswa bisa menyampaikan
larangan kepada guru dengan menggunakan larangan tak langsung atau memanfaatkan
modalitas tertentu untuk menghindarkan ancaman muka atau merusak citra diri
guru.
Dapat
disimpulkan: (a) penggunaan larangan dalam wacana kelas cenderung merepresentasikan
kekuasaan dominatif, (b) penggunaan larangan langsung merepresentasikan
kekuasaan lebih dominatif daripada larangan tak langsung, (c) Penggunaan
kekuasaan dalam larangan terkait dengan upaya guru mencegah/menghentikan
perilaku negatif siswa dilihat dari ukuran-ukuran pendidikan dan pengajaran.
4.
Representasi
Kekuasaan dalam Persilaan
Bach
dan Harnish (1979: 47) menyebutkan karakteristik bentuk persilaan sebagai
berikut. Ketika menuturkan tuturan tertentu, P mempersilakan T untuk melakukan sesuatu
jika P mengekspresikan (a) keyakinan bahwa tuturannya, karena otoritasnya terhadap
T, membolehkan T untuk melakukan sesuatu, dan (b) maksud bahwa T yakin jika
tuturan P membolehkannya melakukan sesuatu. rendahnya restriksi persilaan ditunjukkan oleh
penggunaan modalitas. Dalam bahasa Indonesia, tuturan pengungkap bentuk
persilaan ini bisa menggunakan sejumlah modalitas, misalnya silakan, biarlah,
diperkenankan, dipersilakan, dan dizinkan. Bentuk direktif yang
merepresentasikan kekuasaan paling humanis. Dalam wacana kelas terungkap bahwa
penggunaan direktif dengan bentuk persilaan merepresentasikan kekuasaan guru
dan siswa. Bagi siswa, penggunaan persilaan untuk menunjukkan kesantunan agar
tidak mengancam muka guru. Penggunaan direktif dengan bentuk persilaan ternyata
bukan hanya digunakan oleh guru, tetapi siswa pun bisa menggunakan persilaan.
Perhatikan kutipan berikut.
(9)
S1: tanya (1)
S2:
Oh, iya silakan! (2)
S1:
E…, begini, matahari itu kan juga sebagai bintang, misalnya ada bintang A dan
bintang B. (3) Nah, bintang A ini bisa bergerak, kenapa matahari tidak
bergerak? (4) jika bintang A bergerak, matahari itu juga punya potensi untuk
bergerak. (5)
S3:
Saya akan mencoba menjawab, ya. (6) […]
(konteks:
dituturkan ketika siswa melakukan diskusi)
Dari
paparan di atas tampak bahwa kadar restriksi persilaan termasuk yang paling
rendah bila dibandingkan dengan bentuk direktif yang lain.
5.
Representasi
Kekuasaan dalam Saran
Bach
dan Harnish (1979: 48) memberikan ciri saran sebagai berikut: di dalam
menuturkan suatu tuturan tertentu, P menasihati T untuk melakukan sesuatu jika
P mengekspresikan: (a) keyakinan bahwa terdapat (yang cukup) alasan bagi T
untuk melakukan sesuatu, dan (b) maksud bahwa T meyakinkan P sebagai (cukup)
alasan baginya untuk melakukan sesuatu. Saran lebih banyak diberikan guru
kepada siswa atau siswa kepada siswa yang lain. Hal ini dapat dimaklumi karena
berdasarkan data yang ditemukan, saran cenderung merepresentasikan kekuasaan absah dan
kekuasaan kepakaran para peserta tutur dalam wacana kelas. Untuk memperjelas
uraian ini, kutipan berikut layak diperhatikan:
(10)
G: […] salah tidak masalah ini. (1)
saya ingatkan sekarang, kalau maju ke depan tidak perlu takut salah. (2) salah
itu tidak apa-apa di dalam belajar. (3) Tapi nanti kalau ulangan sebaiknya
jangan…? (4)
S:
salah (5)
G:
ha, iya. Kalau ujian sebaiknya tidak salah. (6) jangan dibalik, kalau latihan
takut salah, kalau ujian tidak takut salah. (7) kita nggak baik menggunakan
prinsip itu. (8)
(Konteks: dituturkan ketika guru melihat siswa agak ragu-ragu untuk
menjawab ke depan)
Realisasi
dari saran cenderung bergantung kepada kesadaran atau kemauan siswa. Penggunaan
sejumlah modalitas, seperti tidak perlu
takut salah, salah tidak apa-apa, sebaiknya, dan nggak baik dapat menurunkan daya restriksi. Saran tersebut. Guru
banyak menggunakan saran. Pertama, saran yang dimaksud agar siswa melakukan
sesuatu yang positif. Daya ilokusi saran itu biasanya memberikan dorongan agar
siswa melakukan sesuatu yang positif. Kedua, saran yang dimaksudkan agar siswa
melakukan hal yang negatif.
Pada
konteks itu, guru mengajak memikirkan isi saran, bukan memaksakannya. Walaupun
terkesan ada perintah atau pelanggaran, saran-saran itu tetap mempunyai kadar
restriksi rendah karena sifatnya tidak memaksa. Peran siswa, saran yang mereka
sampaikan lebih sering diarahkan kepada siswa yang lain. Sesuai dengan
sifatnya, kekuasaan dalam saran tidak berpretensi memaksa, tetapi sekedar
memberikan dorongan. Oleh karena itu, penggunaan kekuasaan dalam saran terkait
dengan upaya guru mendorong siswa boleh atau agar melakukan sesuatu atau
mencegah siswa agar tidak melakukan sesuatu.
6.
Representasi
Kekuasaan dalam Pertanyaan
Bach
dan Harnish (1998: 47) menyatakan cirri pertanyaan sebagai berikut. Ketika
menuturkan tuturan tertentu, P menanyai T apakah menjawab pertanyaan atau tidak
jika P mengekspresikan: (a) keyakinan bahwa P menanyai T apakah menjawab atau
tidak, dan (b) maksud bahwa P menyampaikan kepada T apakah menjawab pertanyaan
atau tidak boleh karena keinginan P. pertanyaan ditandai oleh penggunaan
kata-kata tanya tertentu, antara lain di
mana, kapan, siapa, siapa (punya), yang mana, apa, bagaimana, dan mengapa.
Hasil
kajian ini menunjukkan bahwa pertanyaan, sebagai salah satu bentuk ilokusi tak
langsung, dapat mengimplikasikan perintah. Implikasi itu terkait dengan empat
fungsi pertanyaan sebagaimana dikemukakan oleh Allen dan Guy (1978: 165) antara
lain untuk (a) klasifikasi, (b) pengulangan, (c) verifikasi, dan (d) menggali
informasi. Representasi kekuasaan dalam wacana kelas terkait dengan
fungsi-fungsi itu. Untuk memperjelas uraian ini, mari kita lihat kutipan berikut ini:
(11) G:
Coba, gaya apa yang mungkin terjadi di situ? (1)
S:
Tarik-menarik dan tolak-menolak. (2)
G:
Tarik-menarik dan tolak-menolak yang berkaitan dengan apa? (3)
S:
Gaya gravitasi. (4)
G:
gaya gravitasi, baik sekali. (5)
(Konteks: dituturkan ketika Guru menanyakan pemahaman siswa terhadap
gaya gravitasi)
Kedua
pertanyaan itu digunakan guru untuk klarifikasi. Kedua pertanyaan itu digunakan
guru untuk menjernihkan pemahaman siswa terkait dengan jenis gaya gravitasi.
Kalau diperhatikan, kinerja dari kedua pertanyaan itu memiliki kadar restriksi rendah
sehingga cenderung merepresentasikan kekuasaan lebih humanis. Ada dua
kemungkinan pola urutan penunjukan pelaku sebagai penjawab pertanyaan, yakni
(a) pola penyebutan pertanyaan sebelumnya menunjukkan pelaku, dan (b) pola
penujukan pelaku diikuti oleh penyampaian pertanyaan. Dari hasil kajian ini
terungkap bahwa kekuasaan yang direpresentasikan dengan pola (a) cenderung
lebih humanis daripada pola (b). Bagi siswa, pola penyebutan pertanyaan sebelum
penunjukan dirinya dianggap memberikan kesempatan kepada dirinya untuk
memikirkan jawaban pertanyaan itu. Pola ini dipersepsi siswa sebagai restriksi yang dianggap cenderung
merepresentasikan kekuasaan lebih dominatif. Tujuan lain yang menyebabkan guru
menggunakan pernyataan dominatif, misalnya ingin menghentikan siswa rebut,
memberikan restriksi, memberikan penyadaran, atau sejenisnya. Hasil kajian ini
menunjukkan bahwa pernyataan ya-tidak yang
tergolong retoris yang digunakan untuk memberikan penekanan agar siswa tidak
mengalami kesalahan cenderung mempunyai restriksi lebih tinggi daripada
pertanyaan perihal.
Ditinjau
dari aspek pragmatik, penggunaan pertanyaan ya-tidak
cenderung memiliki maksud-maksud tertentu. P merasa bahwa dirinya berhak
untuk memberikan pemahaman kepada T. itulah sebabnya, Leech (1993: 266-267)
menganggap bahwa pertanyaan ya-tidak sebagai pertanyaan bermuatan, yang mungkin
bermuatan bias positif yang menghendaki jawaban ya atau pertanyaan bias negatif yang menghendaki jawaban tidak.
B.
Representasi
Kekuasaan dalam Tindak Asertif
Menurut
Searle (1976), tindak tutur ini memiliki fungsi untuk memberi tahu orang-orang
mengenai sesuatu fungsi tersebut tentu sangat penting dalam wacana kelas karena
proses transfer pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam proses pembelajaran
tidak terlepas dari proses memberi tahu. Leech (1993: 327) memberi
karakteristik asertif. Tindak asertif diberi formula sebagai berikut: verba
asertif biasanya dipakai dalam konstruksi S Verbs
(…) that X dengan S sebagai subjek (mengacu kepada P) dan that X mengacu pada suatu proposisi. Bach dan Harnish (1979: 42) menyatakan
ciri asertif sebagai berikut. Di dalam menuturkan tertentu, P menyatakan
tentang proposisi jika P mengekspresikan: (a) keyakinan tentang proposisi, dan
(b) maksud bahwa T yakin tentang proposisi itu. Dari kedua pendapat itu dapat
ditarik dua ciri asertif, yakni (a) tindak asertif merupakan tindak tutur yang
mengungkapkan keyakinan P, dan (b) keyakinan itu diungkapkan dalam proposisi
yang mempunyai kadar kebenaran tertentu.
Jika
dikaitkan dengan fungsinya, tindak tutur asertif cenderung merepresentasikan
kekuasaan kepakaran (expert kekuasaan).
Kekuasaan kepakaran adalah kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang karena akses
informasi yang dimilikinya.
1.
Representasi
Kekuasaan dalam Menegaskan
Ditinjau
dari perspekstip etnografi komunikasi dari Hymes (1974), penggunaan tindak
menegaskan terkait dengan berbagai tujuan, misalnya untuk menghilangkan
keragu-raguan, memberikan penekanan, memebrikan klarifikasi, atau yang lain.
(12) G: […] berapa iurannya? (1)
S:
seribu (2)
G:
Ada yang keberatan? (3) Saya kira cara itu sudah baik. (4) […]
S:
Bu, keberatan. [5]
G:
Ya, ada yang keberatan, satu, dua, tiga.(6)
Nah, bagaimana menanggapi kawanmu yang keberatan (7) […] kalau hanya ada
beberapa orang saja yang keberatan, saya kira keputusan itu sudah baik. (8) Ok,
yang keberatan berapa orang? (9)
S:
Nggk jadi. (10)
G:
Nggak jadi? (11) saya kira sudah bisa diambil keputusan.
(konteks: dituturkan ketika wali kelas mengecek besarnya uang iuran
kelas)
Dalam
kutipan (12) tersebut terdapat satu tuturan yang mengungkapkan tindak asertif
dengan bentuk penegasan yakni tuturan (8). Terkait dengan tindak menegaskan pada kutipan (12) ada dua hal yang
layak dilihat, yakni linearitas proposisi yang membangun penegasan itu dan
modalitas epistemik atau oleh Fairclough (1988: 126-127) disebut modalitas
ekspresif yang digunakan untuk meyakinkan siswa. Ditinjau dari aspek proposisi
yang digunakan, tuturan (9) dibangun dengan jenis proposisi kondisional. Jenis
proposisi ini ternyata sering digunakan dalam tindak menegaskan. Kadar
kebenaran dari tuturan yang dibangun dengan pola proposisi ini ditentukan oleh
lineritas antara proposisi yang berfungsi sebagai anteseden dan proposisi lain
yang berfungsi sebagai konsekuensi. Menyusun proposisi kalau hanya beberapa orang saja yang keberatan, sebagai proposisi
anteseden, dan proposisi saya kira tidak
perlu dipermasalahkan, sebagai proposisi konsekuensi. Dalam tindak menegaskan
itu digunakan modalitas episdemik saya
kira. Alwi (1992: 106) memasukkan modalitas tersebut ke dalam kategori
keteramalan. Penggunaan modalitas itu mencerminkan sikap guru yang lebih yakin
terhadap kebenaran proposisi yang dibuat daripada menggunakan modalitas seperti
mungkin atau barangkali.
Di
dalam wacana kelas, kekuasaan kepakaran tidak hanya dimiliki oleh guru. Siswa
pun jika mereka mempunyai kepakaran (baik pengetahuan maupun keterampilan),
berpotensi mempunyai kekuasaan di atas peserta tutur yang lain. Tindak
menegaskan yang dilakukan siswa lebih banyak terungkap dalam proses tanya jawab
atau diskusi.
(13) S1: […] Gimana, kurang jelas? (1)
S2:
Orbit planet Pluto suatu saat kan memotong orbit Uranus? (2)
S1:
E..., begini, ya. Anda bilang orbitnya Pluto memotong orbit Uranus. (3) itu kan
sewaktu-waktu, nggak selamanya. (4) padahal, pluto itu membentuk esnya itu lama
banget. (5) jadi, nggak semudah itu mencairnya menjadi gas. (6) Apa masih ada
sanggahan? (7)
S2:
Sudah. (8)
S1:
Sudah. Terima kasih. (9)
(Konteks: dituturkan ketika siswa melakukan diskusi)
Hal-hal
yang telah terurai di atas menunjukkan bahwa penggunaan tindak menegaskan dalam
wacana kelas bukan hanya merepresentasikan kekuasaan guru, tetapi juga
kekuasaan siswa. Oleh karena itu, kekuasaan yang direpresentasikan dalam tindak
menegaskan bukan dominasi guru, bukan bersifat atas-bawah, tetapi cenderung
sirkular.
2.
Representasi
Kekuasaan dalam Menunjukkan
Tindak
asertif dengan bentuk menunjukkan (suggest)
banyak digunakan dalam wacana kelas.
Daya ilokusi bentuk ini membuat T memahami atau mengetahui sesuatu sebagaimana
ditunjukkan oleh tuturan P. tindak menunjukkan justru digunakan untuk
memberitahukan tentang sesuatu. Bentuk menunjukkan juga cenderung merepresentasikan
kekuasaan kepakaran.
(14)
G: kalo lihat ada beberapa jaringan
epitel? (1) […]Ada pipih, ada kubus, ada silindris apa? (2)
S:
Transisional (3)
G:
Bentul, transisional. (4) Transisi itu apa? (5) transisi itu perpindahan bentuk
dikelompokkan dalam kubus kok tidak
kubus. Dikelompokkan dalam silindris kok tidak
silindris, gitu lho. (6) […]
(Konteks: dituturkan ketika guru menjelaskan jaringan sel)
Dalam
kutipan (14) tampak bahwa guru menggunakan dua tindak asertif dengan bentuk
menunjukkan, yakni (5) dan (6). Kedua tindak tutur tersebut merepresentasikan
kekuasaan kepakaran guru. Namun, dalam konteks lain, penggunaan tindak tutur
ini juga terkait dengan upaya perbaikan kesalahan, baik menyangkut kesalahan
pengetahuan, keterampilan maupun sikap.
(15) S: Bu, itu apakah bukan rataan
pertama? (1)
G:
Oh, sori, iya. (2) Ini bukan rataan kedua, tapi rataan pertama soalnya
simpangan bakunya simpangan baku kedua. (3) Ini langsung substitusi. (4) Iya,
jadi ini 2x1 ini berapa sekarang? (5)
(Konteks: dituturkan ketika guru menjelaskan teori peluang)
Ditinjau
dari aspek formal, tuturan (3) pada kutipan (15) termasuk tuturan berstruktur
interogatif. Akan tetapi, daya ilokusi itu bukan untuk bertanya, tetapi untuk
menunjukkan kesalahan guru. Tuturan tersebut tergolong tindak menunjukkan
secara tidak langsung. Menurut siswa, penggunaan tindak tutur itu dimaksudkan
agar tidak mengancam muka guru. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tindak menunjukkan yang digunakan dalam wacana
kelas dapat merepresentasikan kekuasaan guru dan kekuasaan siswa.
3.
Representasi
Kekuasaan dalam Mempertahankan
Tindak
asertif dengan bentuk mempertahankan biasanya diwujudkan dalam tuturan yang
berisi proposisi yang diekspresikan P untuk meyakinkan T terhadap kebenaran
gagasan yang disampaikan (periksa Bach dan Harnish, 1979: 42). Oleh karena itu,
dalam wacana kelas, penggunaan bentuk mempertahankan cenderung
merepresentasikan kekuasaan kepakaran yang bersifat lebih dominatif.
(16) G: […] Tapi, kalau diskusi harus resmi,
(1)
S:
kadang-kadang dalam seminar itu bahasanya tidak baku, Bu. (2)
G:
Ya, kita ini sering salah menerapkan. (3) Dalam seminar, ya harus menggunakan
bahasa baku. (4)
S:
Tapi biasanya kaku, Bu. (5)
G:
Begini, maksud saya baku: suasananya memang teras kaku sehingga penyusunannya
harus luwes. (6) Luwes, artinya tetap tidak keluar dari aturan bahasa yang ada.
(7)
Dalam
kutipan (16) tersebut tampak bahwa guru mempertahankan pendapatnya ketika siswa
mencoba menyangkal. tindak asertif dengan bentuk mempertahankan tampak pula penggunaannya
dalam kegiatan diskusi antarsiswa. Oleh karena itu, representasi kekuasaan dari
tindak tutur yang dihasilkan bersumber dari kepakaran.
4.
Representasi
Kekuasaan dalam Menilai
Bach
dan Harnish (1979: 43) memberikan karakteristik menilai sebagai berikut. Ketika
menuturkan suatu tuturan tertentu, P menilai tentang proposisi apabila P
mengekspresikan: (a) keyakinan tentang proposisi yang didasarkan pada prosedur pencaharian kebenaran, dan (b) maksud
bahwa T percaya tentang proposisi sebab P memiliki dukungan bagi proposisi itu.
Tindak asertif dengan bentuk menilai juga merepresentasikan kekuasaan
kepakaran. Aspek yang dinilai menyangkut pengetahuan, keterampilan, maupun
sikap. Perhatikan kutipan berikut.
(17)
G: Ya, saya cermati dulu untuk penampilan
yang pertama dari Gilang. (1) Kalau dari tema kemarin kita tentukan tempat
umum, sudah memilih tempat umum, yaitu Gunung Semeru. (2) Nah, ini dia sudah
bisa mengambil suatu tema yang sesuai. (3) […] Pilihan kata, nah saya tanya
kepada Gilang, kamu benar-benar membuat sendiri, mencari sendiri, tidak dalam
koran, tidak ya? (4) […] tapi saya lihat pilihan katanya sudah bagus. (5) Sudah
bagus dalam merangkai satu kata dalam satu kalimat dalam satu baitnya. (6)
Kalau dikaitkan dengan judul dan temanya benar-benar sudah bagus. (7)
(Konteks: dituturkan ketika guru dan siswa
menilai pembacaan puisi yang diciptakan siswa)
Secara
garis besar ada dua ukuran yang digunakan guru untuk menilai puisi siswa, yakni
(a) ukuran kesesuaian dengan tugas yang diberikan, dan (b) ukuran kualitas
untuk menilai kualitas diksi suatu puisi. Penggunaan modalitas epistemik sudah memiliki, sudah bagus, dan benar-benar
bagus dalam berbagai tuturan ini menunjukkan bahwa guru memang menilai baik
puisi yang dibuat siswa. Dalam wacana kelas, tindak asertif dengan bentuk
menilai juga digunakan oleh siswa. Akan tetapi, mereka menggunakan ketika
bertutur antarmereka. Penggunaan tindak menilai yang dilakukan oleh guru
cenderung merepresentasikan kekuasaan humanis. Penilaian yang dilakukan guru
tidak untuk mendominasi siswa, tetapi justrus untuk memberikan dorongan kepada
siswa untuk berbuat yang lebih baik.
C.
Representasi
Kekuasaan dalam Tindak Ekspresif
Tindak
tutur ekspresif merupakan bentuk tindak tutur yang menyatakan apa yang
dirasakan oleh P. dengan tindak tutur ini, P mengekpresikan keadaan-keadaaan
psikologis tentang pernyataan-pernyataan rasa senang, rasa tidak senang,
perasaan pedih, perasaan luka, ucapan selamat, dan ucapan belasungkawa.
1.
Representasi
Kekuasaan dalam Pernyataan Rasa Senang
Ditinjau
dari frekuensinya, guru merupakan peserta tutur yang lebih sering menggunakan
tindak asertif. Ditinjau dari perspektif etnografi komunikasi, gejala ini terkait
dengan karakteristik komponen tutur yang membangun wacana kelas, terutama
kedudukan dan peran institusional para peserta tutur dan tujuan tutur yang
hendak ekspresif dengan bentuk pernyataan rasa senang biasanya merupakan respon
terhadap tindakan T yang menurut ukuran
pendidikan dan pengajaran bernilai positif.
(18) G: Yang sini, Putri, yang merasa
perempuan angkat tangan, silahkan! (1)
S:
Jaringan epitel. (2)
G:
Ya, bagus, kelenjar keringat, testis, kantong empedu, uterus terbentuk atas
jaringan epitel. (3) Ada pertanyaan, kalau tidak ada kita lanjut. (4)
E…silahkan masih perempuan! (5) Mana silakan. (6)
S:
Epitel, silinder, selapis, tunggal. (7)
G:
Bagus, fungsinya karena fetrikulus infetium itu ada kelenjar pencernaan. (8)
Bagus, yang lainnya. (9)
(Konteks: dituturkan ketika guru dan siswa membahas soal dalam LKS)
Rasa
senang itu diwujudkan dalam tindak asertif. Dalam kutipan (18), pernyataan rasa
senang dapat dilihat pada tuturan (3), (8), dan (9). Penggunaan modalitas epistemik
atau ekspresif bagus dari ketiga
tuturan itu menunjukkan rasa senang guru karena siswanya bisa menjawab soal
dengan baik. Contoh modalitas epistemik lain adalah bagus sekali, ya pintar, OK, baik, tepat sekali, baik sekali, hebat,
dan hebat sekali.
Penggunaan
tindak ekspresif dalam bentuk pernyataan rasa senang merepresentasikan
kekuasaan guru dan juga kekuasaan siswa. Jenis tindak tutur ini cenderung
digunakan untuk merespon sikap atau perilaku siswa yang positif dilihat dari
ukuran-ukuran pendidikan dan pengajaran. Dalam realisasinya, selain mendorong
siswa untuk bersikap dan berperilaku positif, penggunaan jenis tutur ini mampu
memacu siswa ikut terlibat di dalam proses pembelajaran.
2.
Representasi
Kekuasaan dalam Pernyataan Rasa Tidak Senang
Penggunaan
tindak tutur ini karena berdasarkan persepsi P, T tidak menunjukkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang baik menurut ukuran-ukuran pendidikan
dan pengajaran. Tindak tutur semacam itu cenderung merepresentasikan kekuasaan
paksaan dengan kadar restriksi tinggi dan kadar dominasi beragam. Ungkapan rasa
tidak senang merupakan hukuman (punishment)
yang bisa menjadi reinfoser negatif.
(19) G: […] Jaringan apa?
S:
Gabus.
G:
Jaringan gabus, bagus. (3) Di kartu siapa yag ada jaringan gabus? (4) Yang ndak
punya kartu ndak bisa ngomong. (5) kamu nggak buat, to? Untuk selanjutnya tak kurangin nilainya yang terlambat membuat.
(7)
(Konteks: dituturkan ketika guru dan siswa membahas jaringan organ tubuh)
Kelalaian
siswa bukan saja direspon oleh guru dengan sikap tidak suka, akan tetapi guru
mengancam akan mengurangi nilai siswa. Dengan demikian, tindak (5), (6), (7)
merepresentasikan kekuasaan paksaan. Kekuasaan itu memaksa siswa untuk membawa kartu dalam
pertemuan selanjutnya. Perhatikan
kutipan berikut:
(20) G: Ya, silakan! (1)
S:
Jaringan otot, jaringan epitel. Jaringan …. (2)
G:
Lho, volumenya kok tambah menurun? (3) menjawab kok volumenya tamabh menurun. (4)
S:
Jaringan otot, jaringan epitel, jaringan ikat. (5)
G:
Ya, betul. (6) […]
(Konteks: dituturkan ketika guru dan siswa melakukan tanya jawab tentang
jaringan tubuh)
Dalam
kutipan di atas tampak bahwa guru menggunakan tuturan (3) dan (4) untuk menunjukkan reaksi tidak
senang terhadap siswa yang menjawab dengan suara pelan. Tuturan (3) mempunyai
daya resriksi tinggi. Ada sejumlah siswa yang bisa mengekspresikan ketidaksukaannya
ketika bertutur dengan guru, tetapi jarang terjadi. Pada umumnya siswa
cenderung menggunakan tuturan off record
ketika bertutur dengan guru walaupun sebenarnya ada hal yang tidak mereka
sukai. Penggunaan tindak ekspresif dengan bentuk pengekspresian rasa tidak senang
bisa merepresentasikan kekuasaan guru dan bisa pula mengekspresikan kekuasaan
siswa. Dalam konteks itu, kekuasaan cenderung digunakan untuk menghentikan
perilaku yang kurang baik dilihat dari ukuran-ukuran pendidikan dan pengajaran.
Oleh karena itu, kekuasaan yang merepresentasikan melalui tindak tutur yang
satu ini cenderung dominatif.
PENUTUP
A.
Simpulan
1. Representasi
Kekuasaan dalam Tindak Direktif
a. Representasi
Kekuasaan dalam Perintah
b. Representasi
Kekuasaan dalam Permintaan
c. Representasi
Kekuasaan dalam Larangan
d. Representasi
Kekuasaan dalam Persilaan
e. Representasi
Kekuasaan dalam Saran
f. Representasi
Kekuasaan dalam Pertanyaan
2. Representasi
Kekuasaan dalam Tindak Asertif
a. Representasi
Kekuasaan dalam Menegaskan
b. Representasi
Kekuasaan dalam Menunjukkan
c. Representasi
Kekuasaan dalam Mempertahankan
d. Representasi
Kekuasaan dalam Menilai
3. Representasi
Kekuasaan dalam Tindak Ekspresif
a. Representasi
Kekuasaan dalam Pernyataan Rasa Senang
b. Representasi
Kekuasaan dalam Pernyataan Rasa Tidak Senang